
Winger kiri dengan kaki kiri dominan itu udah mulai langka. Tapi Florian Thauvin datang dengan semua atribut klasik:
- Langkah ringan
- Dribel zigzag
- Tendangan melengkung ke pojok jauh
- Gaya main penuh flair
Kalau lo pernah nonton dia main bareng Olympique Marseille, pasti ngerti kenapa fans Prancis nganggap dia lebih dari sekadar winger. Tapi kalau lo nonton dia di Newcastle? Mungkin lo bingung, “Emang dia sebagus itu ya?”
Nah, inilah serunya karier Thauvin:
Naik-turun, pindah arah, tapi gak pernah berhenti jadi diri sendiri. Dan di era bola modern yang makin sistematis, pemain kayak dia adalah gangguan manis yang susah ditebak.
Awal Karier: Winger Kidal dari Grenoble yang Nggak Mau Biasa-Biasa Aja
Florian Thauvin lahir di Orléans, Prancis tahun 1993. Dia mulai dikenal publik saat main buat Bastia musim 2012–2013. Di umur 19, dia udah nunjukin skillset beda:
- Gerakannya halus tapi tajam
- Bawa bola tanpa banyak sentuhan
- Suka banget cut inside dari kanan ke kiri
- Dan jelas: pede banget buat usia semuda itu
Waktu itu, LOSC Lille langsung gercep rekrut dia. Tapi drama pun muncul:
Thauvin ogah main buat Lille, malah langsung minta pindah ke Marseille tanpa pernah main satu pertandingan pun.
Move ini bikin reputasinya mulai “kotor” di mata media. Tapi Marseille dapat jackpot.
Marseille Era Pertama: Si Wonderkid yang Masih Mentah
Di Marseille, Thauvin dapet menit main yang cukup. Tapi kadang terlalu showman, gak efisien, dan sering gak kelihatan 90 menit.
Fans mulai kebagi dua:
- Yang suka flair-nya
- Yang frustasi karena dia gak konsisten
Tapi satu hal pasti: talenta mentahnya keliatan banget.
Masalahnya? Ekspektasi media dan fans terlalu cepat naik.
Dan akhirnya, tahun 2015, dia dapat kesempatan pindah ke Premier League.
Klubnya? Newcastle United.
Newcastle United: Pindah Terlalu Cepat, Sistem Gak Cocok
Waktu ke Newcastle, Thauvin dibilang jadi “next big thing” — calon penerus Ben Arfa, bahkan kabarnya jadi calon bintang timnas senior.
Tapi realitanya?
Premier League gak ngasih ruang buat pemain flair yang belum siap tempur.
- Main cuma 13 kali
- Gak ada gol
- Sering dicadangkan
- Dikritik media karena performa di bawah ekspektasi
Fans Newcastle bahkan sempat ngejek dia karena tampil dengan setelan tuxedo saat presentasi pemain.
Kayak: “Siapa nih bocah yang gaya doang tapi gak ngapa-ngapain?”
Akhirnya, Thauvin minta balik ke Marseille — awalnya pinjaman, lalu permanen.
Kebangkitan di Marseille: Mode Raja Dihidupkan
Balik ke Marseille adalah keputusan terbaik dalam karier Thauvin.
Mulai dari 2016, dia meledak total:
- Musim 2017–2018: 22 gol, 11 assist di Ligue 1
- Masuk Tim Terbaik Ligue 1
- Jadi penyerang utama dalam sistem ofensif Rudi Garcia
- Main bareng Payet, Germain, Sanson
- Ngebantu Marseille lolos ke final Liga Europa 2018
Dia jadi pemain inti, idolanya fans, bahkan sempat dilirik kembali oleh klub-klub besar.
Tapi kali ini, Thauvin gak buru-buru. Dia nyaman di Marseille. Dia tahu di sini, dia bisa dominan.
Piala Dunia 2018: Tanpa Spotlight, Tapi Tetap Angkat Trofi
Thauvin dipanggil masuk ke skuad Prancis untuk Piala Dunia 2018 di Rusia.
Tapi… dia cuma main satu pertandingan.
Menitnya dikit banget. Bahkan gak banyak fans ingat dia ada di tim.
Tapi tetap, dia adalah juara dunia.
Dan walau bukan inti, dia ada dalam sistem elite dan dipercaya pelatih sekelas Didier Deschamps.
Dan jujur, gak banyak winger flair yang bisa masuk tim Prancis yang waktu itu isi sayapnya Mbappé, Griezmann, Lemar, Coman.
Masuk daftar aja udah bukti kualitas.
Injury dan Pindah Ke Liga Tak Terduga
Setelah Piala Dunia, Thauvin sempat cedera panjang yang bikin dia absen hampir semusim.
Dan setelah itu? Kariernya ambil jalur beda:
Pindah ke Liga MX, gabung Tigres di Meksiko bareng Gignac.
Ini langkah yang bikin banyak orang mikir:
“Kenapa pemain sekualitas dia gak coba balik ke Eropa top?”
Jawabannya:
- Gajinya tinggi di Tigres
- Udah pernah main di Eropa dan capai banyak
- Mau coba tantangan baru tanpa tekanan
Tapi di Meksiko, performanya gak stabil. Cedera, adaptasi, dan sistem yang gak ngasih ruang buat flair bikin dia cepat kehilangan tempat.
Akhirnya kontraknya diputus, dan dia kembali ke Prancis, main buat Udinese di Serie A tahun 2023. Tapi cuma sebentar.
Gaya Main: Kidal Klasik Penuh Flair
Kalau lo suka:
- cut inside kayak Robben
- gaya elegan ala Mahrez
- finishing melengkung pojok jauh
Lo pasti suka banget nonton Thauvin.
Dia bukan winger yang brute force. Dia main dengan tempo, cari celah, bikin chaos dengan dribel.
Tapi kekurangannya?
- Gak punya kecepatan luar biasa
- Kadang terlalu banyak sentuhan
- Gak cocok di sistem yang serba vertikal
Dia cocoknya main di tim yang sabar, kasih bola ke dia di sisi kanan, dan biarin dia improvisasi.
Kenapa Gak Jadi Bintang Besar?
- Transfer ke Inggris terlalu dini
– Harusnya stay dulu, matang di Ligue 1, baru pindah - Cidera saat momen krusial
– Tahun 2019 dia on fire, lalu boom: cedera panjang - Gaya main gak cocok semua pelatih
– Banyak pelatih pengen winger lari-pressing, bukan flair - Stuck di zona nyaman Marseille
– Dia terlalu nyaman, akhirnya gak dapet tantangan baru buat naik level
Tapi, gak semua pemain harus juara Liga Champions buat dianggap sukses. Thauvin tetap salah satu winger terbaik Ligue 1 di dekade 2010-an. Dan dia punya medali emas Piala Dunia — gak semua bisa pamer itu.
Legacy: Raja Marseille, Juara Dunia, dan Winger Kidal yang Penuh Gaya
Florian Thauvin mungkin gak masuk daftar winger elite global.
Tapi dia adalah:
- Simbol Marseille modern
- Salah satu pemain dengan flair terbaik Ligue 1
- Bukti bahwa kadang, tempat yang tepat lebih penting dari klub besar
- Dan definisi “nggak semua juara itu harus jadi pusat kamera”